Tapak Tilas Keindahan Tanah Para Dewa
Berada
di sebuah Dataran Tinggi yang dikatakan sebagai Tanah Para Dewa, seperti mimpi
rasanya, bisa merasakan sensasi cuaca yang beragam, mulai dari dingin sampai
dengan panas. Terik matahari mulai membakar kami, matahari juga memanaskan
hamparan savana yang menguning. Pemandangan itu jarang kami saksikan di dataran
rendah dan sampailah kami ditempat yang dinantikan, dimana menyediakan banyak
air untuk tenggorakan yang mulai mengering. Tidak ada satu orangpun yang melewati
kesempatan ini. Secepat kilat muka kami segar kembali seperti bunga yang
bermekaran. Sepenggal cerita di hari ke-7 untuk memulai kisah indahnya Tanah
Para Dewa.
Sekitar
dua jam kami beristirahan sambil menikmati indahnya siang hari. Memandang luasnya
hamparan savanna yang menguning. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju
savana lonceng, savana lain yang berada di Dataran Tinggi Hyang. Banyak
tantangan untuk mencapai savanna lonceng, karena kami menemukan hambatan, tapi
beberapa menit kemudian tim besar bisa mengatasinya. Selagi mencari jalan,
keindahan Hyang pun masih menyertai kami dengan gumpalan awan yang indah
menyelimuti rangkaian pegunungan di depan kami. Dua jam telah berlalu,
sampailah kami di savanna lonceng dengan angin yang menusuk tulang. Karena
savanna lonceng merupakan savanna tertinggi di Pulau Jawa sekitar 2930 mdpl.
Savanna menguning, edelweiss tumbuh ditengah-tengah, merupakan suguhan
pemandangan luar biasa di Tanah Para Dewa ini. Menemukan orang lain yang
mengunjungi savanna lonceng merupakan kesenangan pribadi kami sebagai calon
anggota Mapala. Dikarenakan jarangnya kami menemukan manusia selama kami
menjajaki Dataran Tinggi yang luas ini.
Tak
lupa beristirahat, kamipun membangun tenda dan membuat masakan untuk makan
malam. Udara saat itu sangat dingin, rasanya tak ingin beranjak dari tenda
kami. Tapi ada satu kewajiban kami untuk melakukan evaluasi disetiap harinya.
Kami dibagi kedalam tiga kelompok kecil untuk summit esok hari ke Puncak Argopuro, Arca, dan Rengganis.
Pagipun
memaksa kami untuk bangun, cuacapun memaksa kami untuk bangun, karena suhu
udara mencapai 8 derajat celcius saat itu. Hari ini yakni hari ke 8 merupakan Ladies Day, kami perempuan-perempuan
tangguh dan ada beberapa laki-laki yang ikut untuk menuju puncakan yang telah
ditentukan sebelumnya. Pertama kami menuju Puncak Argopuro, sekitar 20 menit
untuk mencapai puncak tersebut dari savanna lonceng. Puncak argopuro memang
biasa, tetapi entah kenapa ada kesenangan sendiri sampai ke puncak ini.
Selanjutnya menuju Puncak Arca. Melewati jalan yang memiliki pemandangan yang
sangat menarik. Terlihatlah danau taman hidup dari sekitaran jalan menuju
Puncak Arca. Sangat indah, sungguh memanjakan mata. Dari kejauhan terlihat
birunya danau yang kadang diselimuti oleh kabut.
Puncak
Arca berada pada ketinggian 3050 mdpl, dimana pada puncakan ini memiliki
beberapa peninggalan dua arca yang masih utuh, seperti patung berbentuk
seseorang yang lagi duduk. Terdapat pula sesajen
yang masih menghiasi arca tersebut sebagai sebuah persembahan. Dari Puncak
Rengganis ditemukan pula kuburan-kuburan yang diyakini sudah berada disana
ratusan tahun yang lalu. Di Dataran Tinggi Hyang ini, setiap puncakan pasti
memiliki peninggalan sejarah. Oleh karena itu kami sebagai tim besar menamainya
sebagai Tanah Para Dewa, dikarenakan dulu penganut animism masih melakukan
pemujuaan di berbagai puncak di dataran tinggi ini.
Tiga
jam telah berlalu, akhirnya kami kembali menuju tempat camp untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Sebelum melanjutkan
perjalanan tak lupa makan siang untung mengisi energi yang terkuras dan
membereskan seluruh perlengkapan pribadi ke dalam carrier.
Perjalanan
dimulai dengan melanjutkan kearah Puncak Argopuro. Awalnya kami ingin turun
melawati punggungan setelah Puncak Argopuro, tapi ternyata dipindahkan ke
punggungan setelah Puncak Arca untuk menuju Danau Taman Hidup atau ke check point selanjutnya, dengan
ketinggian 2750 mdpl. Setelah melewati medan yang cukup rumit, kamipun tidak
sampai-sampai ke taman hidup. Cukup melelahkan melewati punggungan yang cukup
terjal, membuat kaki kami menjadi sakit. Senjapun tiba, akhirnya kami
memutuskan untuk membangun tenda di punggungan turun menuju taman hidup. Dengan
pemandangan langsung menuju taman kering dan kami masih bisa melihat taman
hidup dari tempat kami bermalam. Sama seperti rutinitas sebelumnya menjelang
evaluasi, membuat makanan, beristirahat sejenak, dan membicarakan seluruh
kegiatan kita hingga keluar dari pegunungan ini. Dan ternyata kami diminta
untuk membuat pilihan, dikarenakan logistik kami tak bisa sampai ke selatan,
yang dimana memerlukan waktu tujuh hari lagi untuk mencapai ke selatan.
Akhirnya diwaktu evaluasi, tim teknis diminta untuk membuat perencanaan baru
dan akan dipresentasikan esok hari.
Dingin
selalu menusuk tulang ketika pagi tiba, pagi ini entah mengapa kami sangat
sulit untuk bangun, ya mungkin badan kami mulai lelah. Sekitar pukul 06.00, tim
teknis mempresentasikan seluruh perencanaan baru yang tela dibuat. Akhirnya
diputuskan kami akan keluar di jalur Bremi, dan mengambil check point 9 ke arah punggungan pulan turun. Kami bergegas melanjutkan
perjalanan menuju taman kering dan taman hidup. Melewati jalan yang berbentuk
labirin, dengan debu yang bertebaran ketika kami menapakan kaki. Sekitar satu
setengah jam sampailah kami di taman kering. Memang jika diperhatikan vegetasi
yang tumbuh kering dan menguning. Tapi ternyata udara masih dingin ketika kami
beristirahat di kaki puncakan taman kering, lebih tepatnya kami berada di
Cemara Lima. Sekitar 1 jam lamanya beristirahat, kami melanjutkan perjalan
menuju taman hidup. Menurut penuturan PJ navigasi untuk sampai ke taman hidup
membutuhkan waktu tiga jam. Melewati jalan yang berdebu, dan untuk sekarang
kami melewati jalur resmi. Senang rasanya tidak ada pembukaan jalur. Akhirnya
tim pertama yang sampai ke taman hidup hanya membutuhkan waktu satu jam lima
belas menit. Kami langsung memandangi danau taman hidup yang indah, sepi, dan
berkabut. Tapi kabut itu sebentar saja hilang, tiba-tiba muncul lagi, begitu
seterusnya. Danau ini memang indah untuk memanjakan mata kami yang lelah
setelah 9 hari berjalan.
Danau
Taman Hidup berada pada ketinggian sekitar 2080 mdpl. Meskipun ketinggiannya
cukup rendah, tapi udaranya cukup menusuk. Disekitar danau ditumbuhi semak
gajah, lumpur mengelilingi danau yang membuat kaki yang menelusuri danau
terperangkap. Dibalik keindahan Danau Taman Hidup, ada pula penangkaran lutung
di hutan belakang danau tersebut. Cukup menarik memang, tapi sayangnya kami
tidak mendapatkan foto lutung tersebut. Tak lupa mengisi persediaan air kami
yang habis, kamipun membangun tenda dan memasak. Tapi sayangnya, air danau
masih terasa amis dan sedikit keruh. Apa boleh buat, tak ada sumber air disekitaran.
Keesokan
harinya, kami masih harus berada di Taman Hidup, dikarenakan masih menunggu tim
banteng untuk mengambil CP 9. Ketika tim tersebut pergi, kami di Taman Hidup
melakukan observasi flora fauna untuk kepentingan data rekomendasi tim
Perjalanan Panjang BKP Mapala UI 2015. Di dalam hutan, terdapat banyak
flora-flora, yakni lumut kering, lumut basah, buah-buahan yang tidak diketahui
namanya, dan masih banyak lagi.
Tak
terasa kami harus pulang menuju Desa Bremi. Wajah senang sudah tergambar di
wajah kami. Pikiran-pikiran liarpun sudah meracau di dalam diri kami, seperti
ingin mandi, ingin makan yang belum pernah dimakan digunung, ingin mengabari
orang tua, dan masih banyak lagi. Dalam perjalanan, kami melewati jalan yang
berdebu untuk yang kesekian kalinya, melewati hutan pinus.
11
hari kami melakukan perjalanan yang menantang, 11 hari juga kami menikmati
keindahan di Tanah Para Dewa. Terbayar sudah, seluruh peluh yang kami keluarkan
dengan keindahan yang kami rasakan. Perjalanan ini biarlah berlalu dan selalu
dikenang.
Comments
Post a Comment